E-Techno. Penerapan energi terbarukan secara masif masih didominasi oleh Solar Photovoltaic (PV), sedangkan energi terbarukan lainnya, seperti energi angin dan biomassa masih sangat minim. Dengan kondisi ini, biomassa dapat menjadi salah satu primadona pengganti energi fosil, seperti batu bara dan gas. Hal itu dikemukakan oleh Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Indonesia (FTUI) Prof. Dr Adi Surjosatyo belum lama ini. Biomassa adalah istilah yang digunakan untuk menyebut semua senyawa organik yang berasal dari tanaman budi daya, alga dan
sampah organik yang dapat dijadikan sumber energi alternatif dengan bahan baku yang dapat terbarukan.
Indonesia memiliki tanah yang subur serta iklim tropis, memungkinkan biomassa diproduksi sepanjang tahun. Energi biomassa dapat menjadi solusi bahan bakar yang selama ini tidak dapat diperbarui dan mencemari lingkungan hidup,” ujar Prof Adi
Bertolak dari alasan tersebut, tim riset Fakultas Teknik UI yang dipimpin Prof.
Adi melakukan riset rancangan Mobile Biomass Gasifier Prototype 3 sebagai
sebagai tahap lanjutan dari generasi sebelumnya untuk memanfaatkan biomassa dari beras menjadi gas yang mudah terbakar, yang dapat dimanfaatkan sebagai listrik melalui mesin. “Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi gas produser dari Mobile Gasifier Prototype 3 (P3) pada proses gasifikasi kontinyu dengan reaktor tipe fixed bed downdraft,” kata Prof Adi.
Menurutnya, Mobile Biomass Gasifier memiliki keunggulan sebagai sumber
energi terbarukan yang dapat menopang transisi energi terbarukan karena memenuhi konsep carbon neutral, tanaman yang menghasilkan biomassa dapat
menangkap CO2 yang dihasilkan dalam proses gasifikasi. Selain itu, teknologi ini juga ramah lingkungan karena tidak menimbulkan polusi lingkungan.
PLN Gunakan Biomassa
Sementara itu, PT PLN (Persero) telah menerapkan penggunaan biomassa
melalui teknologi co-firing untuk menggantikan batu bara sebagai bahan bakar
pada 33 pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU yang tersebar di berbagai
daerah. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo dalam keterangan yang dikutip
dari Antara di Jakarta, mengatakan program itu bagian dari transformasi hijau
yang dilakukan oleh PLN untuk menekan emisi karbon dioksida yang dihasilkan
oleh pembangkit listrik. “Total emisi karbon yang berhasil ditekan melalui
co-firing di 33 PLTU sebesar 391 ribu ton karbon dioksida,” kata Darmawan.
PLN menggunakan lima biomassa untuk co-firing PLTU batu bara, yaitu serbuk
gergaji, serpihan kayu, cangkang sawit, bonggol jagung, dan bahan bakar jumputan padat. Perseroan membutuhkan sebanyak 383 ribu ton biomassa untuk menopang co-firing di 33 lokasi PLTU.
Darmawan menuturkan pemanfaatan teknologi co-firing tidak hanya sekedar mengurangi emisi karbon, tetapi bisa mengajak masyarakat untuk terlibat aktif
dalam penanaman tanaman biomassa. Bahkan, ada pula yang mengelola sampah rumah tangga untuk dijadikan pelet untuk bahan baku co-firing. “Ini merupakan bagian dari ekosistem listrik kerakyatan yang melibatkan masyarakat dalam penyediaan biomassa sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat setempat,” ujarnya
PLN menargetkan penerapan cofiring di 52 lokasi PLTU hingga 2025 dengan total kebutuhan biomassa 10,2 juta ton per tahun. Sementara hingga akhir tahun 2022, ada 35 lokasi PLTU yang akan mengimplementasikan co-firing dengan estimasi konsumsi biomassa mencapai 450 ribu ton per tahun. Darmawan mengatakan teknologi co-firing juga sebagai langkah jangka pendek yang dilakukan PLN dalam mengurangi emisi karbon, sebab program co-firing tidak memerlukan investasi untuk pembangunan pembangkit baru dan hanya mengoptimalkan biaya operasional
untuk pembelian biomassa. (red/dari berbagai sumber/ed.Riki)

You must be logged in to post a comment Login